Laman

Landscape

Landscape
"Good View"

Jumat, 17 Desember 2010

Global Warming dan Kerjasama Perdagangan Karbon



Oleh : Sabahan*

Sebagaimana diketahui, perdagangan karbon (carbon trading) terkait erat dengan upaya  mengantisipasi pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Perdagangan karbon merupakan istilah untuk aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi (emiter) karbon kepada negara-negara pemilik potensi sumberdaya hutan. Penjagaan, perlindungan atau perluasan hutan sebagai penyerap karbon ini dimotivasi dengan cara memberikan kompensasi keuangan.

Di Kalimantan Barat, beberapa daerah telah menjajaki bentuk kerjasama perdagangan jasa lingkungan (environmental services) ini. Pemerintah Kabupaten Sambas misalnya, baru-baru ini telah menandatangani nota kesepahaman tahap awal perdagangan karbon dengan Carbon Strategic-Australia. Rencananya, Sambas yang akan memperdagangkan karbon dari luas hutan 200.000 hektar itu, akan mendapat kompensasi Rp 200 miliar per tahun dalam kurun waktu kerjasama selama 20 tahun.

Selain Kabupaten Sambas, beberapa kabupaten lain di Kalimantan Barat juga telah merintis kerjasama perdagangan jasa lingkungan (perdagangan karbon).  Kapuas Hulu menjajaki kerjasama dengan Jerman sedangkan Ketapang dan Kubu Raya menjajaki kerjasama dengan Australia. Hanya saja, sampai sekarang kerjasama tersebut belum terealisasi karena terbentur pada metode penghitungan harga kompensasi yang ideal. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa hal yang yang bersifat informatif dalam kaitannya dengan global warming, kerjasama perdagangan karbon, dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mensikapinya.
 
Seputar Global Warming
Pemanasan global terjadi sebagai akibat oleh semakin banyaknya gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Ada dua kelompok gas rumah kaca yaitu kelompok gas rumah kaca yang berpengaruh langsung dan kelompok gas rumah kaca yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pemanasan global. Gas rumah kaca yang berpengaruh langsung adalah CO2 (karbon dioksida), CH4 (Metana), N2O (Nitro oksida), PFCs (Perfluorocarbons) dan HFCs (Hydrofluorocarbons). Gas rumah kaca yang berpengaruh secara tidak langsung adalah SO2, NOx, CO dan NMVOC.

Dari semua jenis gas rumah kaca tersebut, gas CO2 menempati urutan pertama penyebab pemanasan global. Banyak sumber yang menjadi penyebab dilepaskannya gas CO2 ke udara, diantaranya kegiatan pertanian, peternakan, industri, kendaraan bermotor dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan yang berbasis lahan atau tanah di Indonesia menyumbangkan emisi gas rumah kaca lebih besar dibandingkan sektor industri. Saat ini Indonesia belum memiliki standar sistem penghitungan emisi karbon yang digunakan secara nasional, skala regional ataupun areal tertentu, khususnya penghitungan emisi karbon berbasis lahan.

Mengenal Sistem Perhitungan Karbon di Australia
Salah satu sistem penghitungan karbon nasional yang sudah diakui oleh UNFCCC (konvensi PBB untuk perubahan iklim) adalah sistem penghitungan karbon nasional di Australia, lebih dikenal dengan istilah NCAS (National Carbon Accounting System). NCAS adalah sebuah sistem terdepan yang digunakan untuk menghitung emisi gas rumah kaca berbasis lahan. Emisi-emisi gas rumah kaca  yang bersumber pada aktifitas-aktifitas berbasis lahan dan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer membentuk sebagian besar emisi gas rumah kaca di Australia. Sebanyak 27 persen gas rumah kaca di Australia dihasilkan oleh aktifitas masyarakat dalam hal peternakan, penanaman tanaman produksi, pembukaan lahan dan kehutanan.
NCAS dibangun tidak hanya memperhatikan satu sektor saja, akan tetapi merupakan sistem akuntansi terpadu yang menggabungkan unsur-unsur lahan secara menyeluruh di dalam proses penghitungannya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
  • Remote Sensing (Penginderaan Jauh) terhadap perubahan tutupan lahan. Data penginderaan jauh  di Australia diperoleh dari ribuan citra satelit yang diperoleh sejak tahun 1970, sehingga diperoleh secara lengkap data perubahan tutupan lahan dari tahun dimaksud sampai sekarang.
  • Data manajemen penggunaan lahan
  • Iklim dan data tentang tanah
  • Program penghitungan emisi gas rumah kaca dan
  • Model ekosistem sementara dan tata ruang .

Kredit Karbon
Dapat dibayangkan jika anda adalah seorang petani yang tentunya menanam tanaman pertanian seperti padi, jagung dan lain sebagainya. Kemudian, tiba-tiba datang seseorang pedagang karbon. Ia menawarkan kepada anda untuk memberikan sejumlah uang muka untuk menanam pohon, sebagai balasannya ia meminta kredit karbon dari karbon yang tersimpan di pohon-pohon tersebut. Anda mengganti tanaman pertanian dengan pohon dan Anda memperoleh penghasilan. Semakin banyak petani yang beralih untuk menanam pohon, dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan dari usaha menanam pohon. Itulah barangkali harapan para pemerhati lingkungan, pengusaha bahkan petani di beberapa Negara. Mereka percaya bahwa dengan adanya sistem perdagangan emisi karbon yang memungkinkan terjadinya pembelian dan penjualan kredit karbon. Sekaligus hal ini membantu mencegah pemanasan global dan meningkatkan intensitas penanaman pohon pada lahan yang telah terdegradasi.

 Perdagangan karbon
Di bawah UNFCCC, Negara-negara diijinkan untuk menggunakan sistem perdagangan untuk membantu mereka memenuhi target pengurangan emisi. Pada prinsipnya, sebuah Negara dapat mengalokasikan ijin kepada setiap perusahaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan jumlah tertentu.

Apabila ternyata ijin pengurangan emisi  yang dikeluarkan tingkatannya sama atau dibawah  jumlah yang ditetapkan, maka Negara tersebut tetap harus memenuhi komitmen seperti yang disepakati dalam protocol Kyoto yaitu menurunkan jumlah emisi sesuai dengan jatah Negara-negara yang bersangkutan. Apabila suatu Negara tidak mampu memenuhi target penurunan emisi, maka Negara tersebut dapat membeli ijin pengurangan emisi dari Negara yang mempunyai target pengurangan emisi lebih rendah atau Negara-negara yang mampu melakukan pengurangan emisi karbon. Begitu juga dengan perusahaan yang ada dalam suatu Negara dan mempunyai kemampuan melakukan penurunan emisi, maka perusahaan tersebut dapat menjual kelebihan penurunan emisi tersebut kepada perusahaan lain yang melakukan pencemaran lebih banyak.

Melakukan perhitungan kandungan karbon suatu hutan itu sulit, berapa jumlah karbon dalam tanah yang berada di kawasan hutan, karbon di lapisan humus ataupun kandungan karbon yang ada pada masing-masing pohon, perlu dilakukan pengukuran secara jelas. Perbedaan jenis pohon juga menyebabkan perbedaan jumlah karbon yang tersimpan pada saat pertumbuhan pohon. Perbedaan jenis tanah, perbedaan iklim juga mempengaruhi perbedaan kandungan karbon yang dapat disimpan. Salah satu hal yang dianggap sulit juga adalah bagaimana memonitor atau mengawasi karbon yang tersimpan untuk jangka panjang ke depan.

Harga Emisi Karbon
Dalam skema pengurangan pencemaran emisi karbon, harga pasar karbon tidak ditentukan oleh pemerintah, tetapi ditentukan oleh pasar. Dalam memenuhi target pengurangan emisi karbon skala nasional, maka akan menghasilkan suatu harga pasar karbon secara jelas. Dan harga perdagangan karbon ini sesuai dengan ketentuan yang ada, akan secara otomatis terbentuk di pasar karbon. Harga karbon yang terbentuk tergantung pada beberapa faktor, termasuk kondisi emisi karbon nasional, skema karbon internasional dan biaya pengurangan emisi karbon.

Apabila tidak ada pembatasan dalam perdagangan emisi karbon internasional, maka harga perdagangan emisi karbon ditentukan oleh harga pasar global. Sebagai contoh di Australia, berdasarkan model scenario oleh Treasury untuk pemerintahan Australia, harga emisi karbon Australia sama dengan harga pasar global dengan memungkinkan adanya perubahan harga yang dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang masing-masing Negara.
Model yang dibuat oleh Treasury menunjukkan bahwa dalam konteks efisiensi pasar berbasis aksi global dalam menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca, Harga emisi awal tahun 2010 sekitar AUS $ 23/t CO2-e (23 dollar Australia per ton emisi karbon) yaitu untuk mencapai penurunan emisi karbon australia pada target tahun 2020 yaitu penurunan emisi sebesar 5% (Risnandar : 2008).

 Keterkaitan Carbon Trading dengan Sertifikasi Ekolabel
Sertifikasi ekolabel merupakan sertifikasi yang digunakan untuk memberi nilai bahwa suatu produk merupakan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan yang memperhatikan norma-norma lingkungan hidup, norma ekonomi dan norma sosial, sehingga  kelestarian sumber daya alam dapat terjaga. Sertifikasi LEI merupakan sertifikasi ekolabel yang dikembangkan oleh LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) yang bertujuan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia melalui penerapan standar pengelolaan dengan harapan dapat mengembalikan jalur pengelolaan hutan dan memperbaiki kondisi pengelolaan hutan agar menjadi lebih baik. 

Indonesia melalui COP ke-13 UNFCCC yang diselenggarakan di Bali pada tahun 2007, telah memiliki skema penurunan emisi karbon yang dikenal dengan istilah REDD (reduced emissions from deforestation and degradation). Skema penurunan emisi karbon REDD merupakan skema nasional yang sampai saat ini belum bisa dilaksanakan karena terbentur banyak permasalahan diantaranya adalah regulasi atau peraturan, mekanisme pelaksanaan REDD, penjaminan kondisi hutan tetap utuh, jumlah karbon yang terkandung di seluruh hutan Indonesia dan kompensasi dana bagi masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka carbon trading untuk skala nasional kemungkinan besar masih jauh untuk bisa dilaksanakan. Walaupun PBB mentargetkan bahwa REDD pada Tahun 2013 sudah bisa berjalan di Indonesia. 

Secara garis besar perdagangan karbon (carbon trading) ada dua jenis yaitu perdagangan karbon tingkat global dan perdagangan karbon tingkat proyek (voluntary carbon trading). Untuk perdagangan karbon di Indonesia saat ini lebih siap di tingkat proyek walaupun mekanisme pasar, peraturan perundangan dan lembaga terkait belum terbentuk. Ada dua komponen utama dalam perdagangan yaitu penjual dan pembeli. Dalam perdagangan karbon yang menjadi pembeli adalah kelompok-kelompok industri penyumbang terjadinya emisi karbon dan penjual adalah kelompok-kelompok yang melakukan usaha untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida.

Unit manajemen lahan pemegang sertifikat ekolabel merupakan salah satu pihak yang berada dalam posisi penjual offset karbon. Sehingga mereka bisa menjual offset karbon yang terkandung dalam unit lahan mereka kepada pembeli. Jual beli offset karbon oleh pengelola unit lahan dapat terjadi apabila pengelola unit lahan tersebut sudah memiliki sertifikat ekolabel. Para pemegang sertifikat ekolabel LEI diawasi dan dinilai kinerja dan komitmen mereka dalam pengelolaan hutan lestari. Pasar offset karbon tingkat broker saat ini berkisar antara $4 - $10 per ton CO2 yang tersimpan.  

Indonesia memiliki banyak hutan baik itu kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seperti hutan adat yang berpotensi mendapatkan kompensasi dalam peranannya menurunkan  emisi gas karbon dioksida. Untuk mendapatkan kompensasi seperti itu, tentunya hutan-hutan tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan sertifikasi ekolabel. Sampai saat ini, masih sangat sedikit hutan di Indonesia yang sudah mendapatkan sertifikasi dari LEI. 

 Pada akhirnya, Untuk mempersiapkan perdagangan karbon  maka perlu diperhatikan    hal-hal berikut :
  • Perlu segera dibuat peraturan daerah yang mengatur masalah perdagangan karbon yang mengatur masing-masing komponen yang terlibat dalam perdagangan karbon.
  • Perlu dibentuk lembaga pengawas untuk perdagangan karbon.
  • Sebagaimana salah satu yang diamanatkan oleh PBB mengenai carbon trading, maka dalam pelaksanaan carbon trading  di seluruh daerah di Indonesia harus memberikan porsi pendapatan besar bagi masyarakat lokal sebagai insentif dalam menjaga hutan, sehingga bisa menjadi alternatif pendapatan masyarakat.
  • Perlunya kerjasama yang lebih intensif antara pihak Pemerintah, swasta, LEI, LSM dan masyarakat mengenai pelaksanaan sertifikasi ekolabel.
  • Perlunya sosialisasi mengenai sertifikasi ekolabel dan perdagangan karbon.
  • Perlunya penguatan kelembagaan di tingkat unit manajemen pengelola hutan, sehingga mampu melaksanakan dan menjaga standar pengelolaan hutan lestari sesuai standar-standar sertifikasi yang diakui.
  • Perlunya penguatan database kehutanan yang terintegrasi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah bahkan tingkat areal proyek.

(Dari berbagai sumber)
*Mahasiswa Pascasarjana Departemen Arsitektur Lanskap IPB Bogor
*Dosen Politeknik Sambas

(Tulisan ini dimuat dalam rubrik Opini Pontianak Post Edisi Rabu 26 Mei 2010)

1 komentar: