Laman

Landscape

Landscape
"Good View"

Jumat, 17 Desember 2010

Kota Pontianak Dalam Perspektif Urban Design





                                                                 Oleh : * Sabahan
 *Mahasiswa Pascasarjana Departemen Arsitektur Lanskap IPB Bogor
*Sekretaris Forum Pascasarjana Kalbar di Bogor

Kota Pontianak secara geografis terletak pada 00 02’ 24” LU dan 00 01’ 37” LS serta 1090 16’ 25” BT dan 1090 23’ 04” BT. Letak geografis ini merupakan modal besar  terutama dalam pengembangan sektor pariwisata. Dengan letak geografisnya yang strategis, Kota yang berjuluk  Kota Khatulistiwa ini hendaknya memanfaatkan potensi yang dimiliki. Kota Pontianak juga merupakan pintu gerbang Provinsi Kalimantan Barat, dan merupakan salah satu kota yang dapat diakses dari ke negara tetangga Malaysia melalui darat. Selain itu Kota Pontianak merupakan kota transit dalam kegiatan perdagangan dan jasa, baik secara lokal, regional dan internasional.

Di tengah potensi yang miliki, sudah seharusnya Pemerintah Kota Pontianak berupaya berbenah dalam urusan urban Design (rancangan kota), hal ini dirasakan sangat penting dilakukan guna menciptakan Kota Pontianak yang lebih indah dan nyaman untuk ditempati. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dalam tulisan ini sebagai bagian dari masyarakat Pontianak, saya ingin menyampaikan tinjauan teori “Citra Kota” yang termuat dalam buku The Image of The City oleh Prof. Kevin Lynch.

Jika anda termasuk orang yang pernah bersentuhan secara langsung dengan dunia arsitektur tentunya kenal, atau sekurangnya pernah mendengar nama Kevin Lynch. Ya, beliau adalah salah satu tokoh dalam dunia perancangan kota yang terkenal. Teori mengenai citra kota sering disebut sebagai milestone, suatu teori penting dalam perancangan kota, karena sejak tahun 1960-an teori citra kota mengarahkan pandangan perancangan kota ke arah yang mengarahkan pikiran terhadap kota dan kehidupan yang ada di dalamnya.

Citra kota dapat didefinisikan sebagai gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan sebagian besar pandangan masyarakatnya. Kevin Lynch dalam risetnya meminta para penduduk untuk menjelaskan kepadanya suatu gambaran mental terhadap kota yang mereka diami: Apa yang diingat? Di mana letaknya di dalam kawasan? Bagaimana rupanya? Ke mana orang harus pergi dari tempat satu ke tempat yang lain? Lynch mengamati dengan baik bahwa rata-rata berbagai jawaban orang relatif sama, dan sering jauh berbeda dengan realitas di dalam kawasan. Misalnya, sketsa-sketsa yang dibuat orang dengan tim peneliti sering jauh berbeda dengan peta kota yang sebenarnya. Ia mengamati bahwa masalah itu terutama tidak disebabkan oleh ketidakbiasaan orang untuk menggambar sketsa, melainkan karena kesulitan mereka untuk mengingat keadaan tempatnya.
Secara garis besar Kevin Lynch menemukan dan mengumpulkan ada lima elemen pokok yang oleh orang digunakan untuk membangun gambaran mental mereka terhadap sebuah kota, kelima elemen tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pathways
Pathways (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota.  Lynch menemukan dalam risetnya bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan, saluran dan sebagainya.
  1. Edges
Edges (tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path. Edges berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan lintasan kereta api, topografi dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat masuk. Edge merupakan pengakhiran dari sebuah kawasan atau batasan sebuah kawasan dengan kawasan lain. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontunyuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi atau menyatukan.
  1. District
District (kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, di mana dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan tampilan yang jelas dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas.
  1. Nodes
Nodes (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktifitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktifitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro, pasar, square, dan sebagainya. Tidak setiap persimpangan jalan adalah node. Yang menentukan adalah citra place terhadapnya. Node adalah suatu tempat di mana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ pada tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika memiliki bentuk yang jelas karena lebih mudah diingat, serta tampilan berbeda dari lingkungannya secara fungsi dan atau bentuk.
  1. Landmark
Landmark merupakan titik referensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi dan sebagainya. Beberapa landmark hanya memiliki arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam berorientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing. Dapat dicontohkan tugu khatulistiwa yang terletak di Pontianak bagian Utara dapat dijadikan landmark.


Lima elemen pokok di atas digunakan orang untuk membangun gambaran mental seseorang terhadap suatu kawasan perkotaan, semakin kuat keberadaan elemen-elemen tersebut dalam sebuah kota maka makin kuat pula gambaran mental seseorang terhadap kota tersebut. Dan jika kita lakukan kajian terhadap keberadaan elemen-elemen tersebut dalam kaitannya dengan keadaan existing yang ada di Kota Potianak dapat saya sampaikan sebagai berikut :


  1. Pathways
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pathways adalah elemen yang sangat penting. Jika tidak ada kejelasan pathways maka citra dari sebuah kota dapat diragukan keseluruhannya. Pathways merupakan elemen garis sebagai penghubung satu pusat aktifitas dengan aktifitas lain, menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lain. Dan dalam suatu kota, secara fisik pathways tidak hanya berupa jaringan jalan, pelabuhan laut maupun udara yang mempermudah pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya namun juga mempermudah akses-akses lainnya seperti misalnya informasi, komunikasi dan pendidikan.
Pertanyaannya, apakah Kota Pontianak sudah memiliki ’pathways’ yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, baik fisik jaringan maupun akses-akses lainnya. Saya tidak bisa memberikan bukti nyata yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah namun berdasarkan pengamatan pribadi saya maka disimpulkan bahwa ’pathways’ yang dimiliki Kota Pontianak masih jauh dari nilai baik. Kesimpulan ini ditunjang oleh terjadinya kemacetan yang hampir tak mengenal waktu akibat terbatasnya prasarana jalan dan ”melimpahnya” volume kendaraan.  Dari aspek  informasi dan komunikasi juga sama nasibnya, masih   terbatas.

  1. Edges
Edges merupakan elemen batas dari sebuah kawasan. Elemen ini merupakan elemen terdepan dari suatu kawasan. Merupakan penghalang aktifitas sekaligus sebagai tempat masuk. Kekuatan elemen ini dinilai dari 3 aspek, yaitu secara memiliki kontinuitas fisik, visual dan memiliki daya halang. Semakin jelas elemen ini secara kontinuitas elemen ini secara fisik maupun visual maka semakin kuat keberadaan elemen ini. Begitu juga, jika semakin kuat daya halang dari elemen ini maka semakin kuat pula kualitasnya.
Untuk memperkuat elemen edges dalam skala kawasan kota tentunya relatif lebih mudah daripada memperkuat elemen edges dari suatu negara. Dalam teori di atas disebutkan ada berbagai cara untuk memperkuat edges sebuah kawasan, misalnya dengan elemen-elemen fisik, seperti pagar atau vegetasi, pemakaian material-material maupun bentuk-bentuk tertentu yang mencerminkan identitas kawasan sehingga membedakan dengan kawasan lain. Dengan adanya pengembangan di daerah-daerah perbatasan administrasi (Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya) tentunya juga akan meningkatkan aktivitas di daerah tersebut. Artinya secara fisik maupun visual terjadi peningkatan kualitas edges. Ini juga sebagai bentuk pemerataan pembangunan. Tentunya hal ini perlu pemikiran yang mendalam.


  1. District
Kalimantan Barat memiliki beragam potensi yang dapat dikembangkan untuk memperkuat citra dari district tersebut. District (kawasan) harusnya mempunyai ciri-ciri spesifik, Kota Pontianak sebagai ibu Kota Propinsi pada dasarnya mempunyai kekayaan potensi yang luar biasa secara fisik maupun budaya. Untuk tumbuh dan berkembang Pemerintah Kota Pontianak harusnya menjadikan ini sebagai elemen penting dalam pertimbangan penentuan arah pembangunan.

  1. Nodes
Nodes merupakan titik-titik sebagai tempat bertemunya berbagai aktifitas sekaligus sebagi titik-titik yang dapat membagi aktifitas untuk menuju pusat aktifitas lainnya. Secara sederhanya, nodes dapat dikatakan sebagai pusat-pusat keramaian. dalam suatu kawasan perkotaan, nodes tersebar hampir di seluruh kawasan perkotaan untuk mewadahi aktifitas manusia di kawasan tersebut. Dalam sebuah kawasan, jika nodes tersebar secara merata, tidak terpusat pada beberapa tempat saja maka dapat dikatakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang baik. Tidak berkumpul di beberapa tempat saja, namun di beberapa tempat lainnya tanpa kegiatan apa-apa.
Nodes dalam sebuah kota, dapat dianalogikan sebagai daerah-daerah yang merupakan pusat keramaian, yang tidak dimonopoli oleh satu aktifitas tertentu saja, misalnya Kecamatan Pontianak Kota dan Pontianak Selatan. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa penyerbaran nodes di Kota Pontianak belum merata, hanya terpusat di kawasan-kawasan tertentu. Akibat tidak meratanya persebaran nodes tersebut mengakibatkan pembangunan pun menjadi tidak merata.
Sudah sifat alamiah manusia untuk berkumpul, semakin ramai aktifitas pada suatu kota maka semakin tertarik pula manusia untuk bergerak menuju kota tersebut. Ini menyebabkan kota menjadi overcapasity. Hal tersebut dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam sebuah kota. Dapat menimbulkan penyakit-penyakit sosial, misalnya meningkatnya kriminalitas, pengemis dan lain-lain. Dapat menimbulkan persoalan spasial, misalnya munculnya permukiman tidak layak huni, penguasaan daerah aliran sungai maupun ruang terbuka hijau kota secara ilegal, tumpang tindih penggunaan lahan dan kemacetan. Juga dapat menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan yang akhirnya dapat menurunkan tingkat produktifitas masyarakat.

  1. Landmark
Yang terakhir adalah landmark. Kota Pontianak sebenarnya memiliki landmark yang sangat kuat dan unik, secara fisik maupun non fisik. Letak Kota Pontianak di Equator dengan keberadaan tugu khatulistiwa merupakan potensi yang tidak ternilai harganya. Namun sangat disayangkan landmark tersebut masih belum menjadikan Kota Pontianak yang legible (mudah dikenali) oleh pihak luar, ini menandakan perlu pembenahan dalam manajemennya. Pemerintah Kota Pontianak sebagai pelaksana pembangunan harus mampu bertindak sebagai menejer yang mumpuni, kembangkan tugu tersebut dengan desain yang matang, jadikan ianya sebagai trade mark Kalimantan Barat. Kepada rakyatnya harus lebih aktif lagi dalam menjaga sekaligus mengembangkan potensi-potensi yang ada sehingga suatu saat nanti Kota Pontianak dapat  menjadi Kota yang mempunyai daya tarik yang luar biasa yang pada tujuan akhirnya dapat memacu pembangunan dan menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. 


Pada akhirnya, ingin penulis sampaikan berdasarkan kajian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kota Pontianak  memiliki elemen pathways, edges, nodes, district dan landmark yang masih lemah. Tulisan ini tentunya tidak merefresentasikan penilaian yang holistik, namun hanya sebagai sebuah harapan agar urban design benar-benar menjadi perhatian yang serius Pemerintah Kota Pontianak  untuk menciptakan  citra Kota Pontianak yang jauh lebih baik pada masa yang akan datang.

Terima Kasih

Tulisan ini dimuat dalam koran Borneo Tribune Edisi 1 Mei 2010

1 komentar:

  1. Menjadi Tugas Para Stakeholders untk memikirkan kan dan melaksanakannya....

    BalasHapus