Laman

Landscape

Landscape
"Good View"

Senin, 10 Januari 2011

Bahasa Indonesia Berasal Dari Bahasa Sambas?


Anggapan bahwa bahasa Melayu Nusantara yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia berasal dari Melayu Deli mendapatkan tandingan. Peneliti di Universitas Brunei Darussalam Prof Madya DR Haji Jalaludin menyatakan bahwa bahasa Melayu Nusantara berakar pada Melayu Sambas, Kalimantan.

PERNYATAAN mengejutkan yang bisa jadi akan menimbulkan polemik tersebut disampaikan Jalaludin saat menghadiri silaturahmi mahasiswa program bahasa Melayu dan Linguistik Universitas Brunei Darussalam di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Selasa lalu (29/12). Dia menyatakan sudah membukukan hasil penelitiannya tersebut.Buku itu membahas asal-usul bahasa Melayu Indonesia yang disebutnya berakar pada bahasa yang digunakan masyarakat Sambas, Kalimantan Barat. "Buku ini merupakan hasil penelitian saya dari tahun 1996-2000,'' ungkapnya.

Penelitian yang dijadikan bahan buku tersebut, menurut Jalaludin, difokuskan pada asal-usul bahasa Melayu di Kalbar, Kaltim, Kalsel, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Termasuk di negeri tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam. Judul buku tersebut adalah Posisi Bahasa Melayu Hudai dalam Bahasa Melayu Purba. Berdasar hasil penelitian itu disimpulkan, asal bahasa Melayu di Indonesia serta bahasa serumpun dari Malaysia dan Brunei adalah bahasa Melayu Sambas. "Saya ingin menepis anggapan yang selama ini terjadi bahwa bahasa Melayu Nusantara berasal dari bahasa Melayu Deli di Sumatera," terangnya. 

Jalaludin mengumpulkan beberapa kosakata bahasa Melayu di Sambas dari beberapa literatur. Kemudian, dia membandingkan dengan bahasa Melayu di beberapa daerah lain di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Sambas merupakan akar dari bahasa Melayu Nusantara dan bahasa Melayu serumpun. "Bahasa Melayu Sambas menyebar ke beberapa daerah lainnya di Indonesia, seperti Sumatera, Malaysia, dan Brunei Darussalam,'' tambahnya. 

Hasil penelitian itu, menurut Jalaludin, juga membantah hasil penelitian sarjana Belanda yang menyebut bahwa bahasa Melayu Nusantara berakar dari Indo-China. Dia menegaskan, hasil penelitian sarjana Belanda itu tidak berdasar. "Dari segi perubahan bunyi bahasa Melayu yang ada di Indonesia dan Bahasa Melayu serumpun jika dibandingkan dengan bahasa Indo-China, jelas bunyinya sangat jauh berbeda,'' jelasnya.

Menurut dia, bahasa Melayu di Sambas, Kalbar, memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu Nusantara. Kalaupun ada perubahan, itu terpola. ''Bahasa Melayu purba ada empat intonasi, a, i, u, dan e dan itu berada di Sambas. Kemudian, berkembang ke Brunei menjadi tiga. Berkembang ke Sumatera menjadi enam. Berkembang ke Malaysia menjadi tujuh dengan perubahan yang teratur. Maka, kita berani mengklaim bahwa akar bahasa Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei berasal dari Sambas," tegas Jalaludin. 

Dia juga mengungkapkan, hasil penelitiannya itu didukung para sarjana dari Barat. Meski ada juga klaim yang mengatakan bahwa bahasa Melayu tersebut berasal dari Sumatera. Hal itu disebabkan klaim tersebut hanya berdasar penemuan-penemuan situs purba, seperti makam, prasasti, dan beberapa benda lainnya. Hal itu, lanjut Jalaludin, sangat bertolak belakang dengan proses penyebaran bahasa. Sebab, secara logika, untuk mewujudkan suatu tulisan di batu nisan, yang berwujud terlebih dahulu adalah bahasanya, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. ''Saya beranggapan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang diwarisi dari zaman ke zaman yang menyebar melalui proses perpindahan. Jika diteliti dari segi historis, kesultanan yang ada di Sambas memiliki satu keturunan dengan kesultanan di Brunei. Demikian halnya kesultanan di Ketapang," jelas Jalaludin. 


Sumber :
http://jawapos.com

Sejarah Singkat Kerajaan Sambas


Pemerhati Budaya Melayu, Kabupaten Sambas, A Muin Ikram, mengatakan, kerajaan Sambas dimulai sejak keruntuhan Majapahit pada akhir abad ke-16. Diawali dengan dinikahkannya anak perempuan Raja Majapahit bernama Ratu Tengah dengan Raja Tengah seorang pangeran dari Brunei Darussalam.

Ia mengatakan, pada abad ke-13 di Negeri Brunei Darussalam, bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun hingga keturunan kesepuluh yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang berkuasa dari tahun 1598-1659. Beliau mempunyai putra yang bernama Sultan Raja Tengah.

Raja Tengah inilah datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana), dan menikah dengan Ratu Surya Putri Kerajaan Tanjungpura dan lahirlah Raden Sulaiman.
Saat itu, kerjaan Sambas diperintah oleh seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari Kota Sambas, sekarang. 

Setelah Ratu Sepudak wafat menantunya Raden Prabu Kencana naik tahta dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada Saat bersamaan Mas Ayu Bungsu anak Ratu Sepudak kawin dengan Raden Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah) Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama Raden Boma.

Tepatnya di muare ulakanlah Raden Sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di kerajaan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I yang beragama Islam, kata Muin Ikram.

Silsilah Raja Sambas, Sultan Muhammad Syafeiuddin I (1630-1670), Sultan Muhammad Tajuddin (1670-1708), Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732), Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732-1762), Sultan Umar Akamuddin I (1762-1793), Sultan Abubakar Tajuddin I (1790-1814), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I (1814-1828), Sultan Usman Kamaluddin (wali sultan, 1828-1832), Sultan Umar Akamuddin III (wali sultan,1832- wafat 22 Desember 1846), Sultan Abu Bakar Tadjuddin II (1846-1854), Sultan Umar Kamaluddin (1854-1866), Sultan Muhammad Syafeiuddin II (1866-1924), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II (1924-1926), Sultan Muhammad Ibrahim Syafeiuddin (1926-1944), Sultan Muhammad Taufik (1944-1984), Pangeran Ratu Winata Kusuma (1984).


diadopsi dari Andilala

Hati-Hati Dengan Money Politic Pilkada

Oleh : Sabahan


“Money politic”,  dua kata ini sering terdengar di telinga kita saat bergulirnya proses Pemilu. Hampir di setiap pelaksanaan pemilu  selalu identik dengan money politic. Namun memang banyak yang sungkan mengakui fakta yang terjadi. Biasanya praktek money politic dilakukan untuk menarik simpati masyarakat sehingga terpengaruh dalam menentukan pilihannya . 

Ironis memang, kini Money politic telah menjadi sebuah budaya pada setiap pelaksanaan pemilu. Bahkan akhir-akhir ini dapat dikatakan telah menggurita di negeri ini. Karena pada setiap menjelang pemilihan, mulai dari pemilihan presiden, pemilihan anggota legeslatif, gubernur, wali kota/bupati hingga pemilihan kepala desa tidak sepi dari yang namanya isu money politic.
 
Kondisi ini ikut diperparah dengan lemahnya peran panwas (panitia pengawas). Sehingga  ketika terjadi permasalahan money politic, kasusnya tiba-tiba berhenti tanpa ada kelanjutan. Selama ini peran panwas hanya jadi pengawas dan pihak pelapor ke polisi, kalau ada pidana dalam pelaksanaan pilkada. Padahal dalam UU No. 22 Tahun 2007 sangat jelas bahwa tupoksi Panwas tidak sebatas itu. Kasus money politic sepertinya hanya menjadi gurauan politik di daerah, karena peran panwas tidak seperti yang diharapkan masyarakat. 

Jika saja pratek politik negatif ini terus berlangsung dan menggurita di negeri ini, itu artinya proses demokratisasi hanya sebatas impian yang tak akan terwujud. Dan jikalau kita terlibat dan menjadi bagian dari praktek itu maka dapat dikatakan bahwa kita telah ikut memperlambat proses pembangunan di daerah kita.
Logikanya  tidak ada orang yang mau rugi dari pemberiannya, justru yang ada adalah bagaimana pemberiannya itu secepatnya kembali dan bila perlu hasilnya berlipat ganda. Bagaimana caranya? Pikirkanlah sendiri jawabanya.

Oleh sebab itu, besar harapan kita semua agar para balon/calon Bupati dan Wakil Bupati Sambas menggunakan praktek-praktek yang bijak dan berpihak pada masyarakat dan jangan melakukan praktek money politic dalam Pilkada 2011 nantinya. Bagi penyelenggara Pilkada terutama Panwas Pemilukada Sambas, lakukanlah tugas sebagaimana yang harus dilakukan. Dan terakhir, untuk calon pemilih sekalian jadilah pemilih yang cerdas yang memilih figur berdasarkan orientasi kemampuan memimpin dan berhati-hatilah dengan pratek money politic,  karena sesungguhnya praktek itu dapat merugikan kita semua.

Perdagangan Karbon Untuk Belanja Daerah


 Oleh : *Sabahan

Beberapa bulan yang lalu terdengar begitu santer sekali berita tentang kerjasama beberapa daerah dalam melakukan penjajakan kerjasama perdagangan karbon (carbon trade). Pemerintah Daerah kabupaten Sambas beritanya bahkan telah melakukan MoU sebagai langkah awal kerjasama bidang lingkungan tersebut dengan pihak pemerintahan Australia yang diwakili oleh Carbon Strategic-Australia. Namun, entah kenapa belakang tak terdengar lagi kabar beritanya.

Sebagaimana telah diketahui bahwa kerjasama perdagangan karbon dilandasi oleh upaya negara-negara di dunia dalam usaha untuk mengatasi permasalahan global warming dan global climate change yang dirasakan semakin parah belakangan ini.  Kerjasama yang dijalin oleh pemerintah kabupaten Sambas dan Australia dalam hal ini merupakan kompensasi yang dikeluarkan pemerintah Australia yang “kabarnya” akan memberikan hibah pendanaan sebesar 200 milyar per tahun dengan jangka waktu kerjasama 20 tahun kepada Pemda kabupaten Sambas. 

Tanggal 26 Mei 2010 lalu saya telah menulis pada space rubrik opini koran ini. Secercah harapan telah saya sampaikan pada kesempatan itu. Saya memandang bahwa nilai uang dari kerjasama itu sangatlah besar, apalagi jika dikomparasikan dengan taksiran jumlah alokasi dana kabupaten Sambas yang dianggarkan lewat APBD Sambas 2011 untuk belanja langsung yang “hanya” sebesar Rp. 222, 49 milyar. Itu artinya, nilai kerjasama itu hampir setara dengan belanja langsung daerah. Mengingat begitu bernilainya kerjasama tersebut bagi pembangunan daerah Sambas apalagi kerjasama ini menyangkut juga dengan keberlanjutan lingkungan, maka perlu kiranya tindak lanjut (follow up) dari apa yang telah dilakukan selama ini. 

Sangat disayangkan jikalau kerjasama ini hanya sebatas wacana. Sebagai warga Sambas, saya sangat berharap agar kerjasama ini lebih diperjelas lagi. Mengingat pada prinsipnya bahwa perdagangan karbon merupakan amanah dan kesepakatan negara-negara di dunia yang dimulai dari Konferensi PBB tahun 1972 di Stockholm yang kemudian diikuti dengan Kyoto Protokol tahun 1997 dan pertemuan-pertemuan lain termasuk pertemuan di Bali yang menghasilkan Bali Roadmap 2009. Kesemua pertemuan dunia ini menekankan pentingnya perhatian terhadap isu-isu lingkungan global termasuk pendanaan sebagai kompensasi untuk keberlanjutan lingkungan (enviromental services). Jadi, pada dasarnya peluang terhadap realisasi dari kerjasama ini sangatlah besar.

Sudah waktunya pemerintah daerah Sambas giat dalam melakukan usaha-usaha lanjutan. Banyak hal yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini seperti usaha pengumpulan dan analisis data tutupan lahan (land cover) yang salah satu cara pengambilan datanya diperoleh dengan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Selain itu, beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah diantaranya penyusunan peraturan daerah yang mengatur masalah perdagangan karbon dan komponen-komponen yang terlibat dalam perdagangan karbon. Perlunya kerjasama yang lebih intensif antara pihak pemerintah, swasta, Lembaga Ekolabel Indonesia, LSM dan masyarakat mengenai pelaksanaan kerjasama yang dijalin. Perlunya sosialisasi mengenai sertifikasi ekolabel dan perdagangan karbon. Perlunya penguatan kelembagaan di tingkat unit manajemen pengelola hutan, sehingga mampu melaksanakan dan menjaga standar pengelolaan hutan lestari sesuai standar-standar yang disepakai oleh kedua belah pihak. Perlunya juga penguatan database kehutanan yang dilakukan dengan studi lingkungan pada berbagai tingkat. Studi lingkungan ini dimaksudkan agar masyarakat Sambas semakin arif dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup mereka. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah melakukan komunikasi yang intensif dengan pemerintah Australia, karena prinsipnya kerjasama ini bersifat mutualisme bagi kedua belah pihak sehingga memerlukan perhatian yang saling mendukung.

Diharapkan usaha-usaha ini menghantarkan kita kepada perwujudan harapan besar kita yaitu terciptanya kemajuan daerah dan kelestarian lingkungan. Hal ini penulis rasakan cukup penting. Untuk kasus negeri kita misalnya, semakin hari terjadi pengrusakan lingkungan yang semakin parah, ini ditandai dengan penebangan hutan secara liar serta pencemaran udara dan air tanpa kendali. Pada gilirannya hal ini menurunkan kesejahteraan dan kenyamanan hidup masyarakat di negeri ini tidak terkecuali masyarakat di kabupaten Sambas. 

(Terbit di AP Post page space Sambas edisi 2 Januari 2011)